MATA ELANG
Setiap kali aku menatapnya aku tak pernah berfikir ingin
memilikinya, bagiku sudah cukup bahagia mengagumi dalam diam. Biarkan mataku
tetap berbinar dan bibirku selalu menarik kedua sudutnya ketika aku mengamati dan memikirkan setiap gerak
tubuhnya,raut wajahnya, serta suara candanya. Dekat, lebih dekat dari lidah dan
mulutku, lebih dekat dari alis dan mataku, lebih dekat dari angin yang selalu
menerpaku.
“Araaaaaa.”
Suara Rio menembus headset yang terpasang ditelingaku.
Sering sesosok tubuh yang aku tatap dari jauh, tiba-tiba
berada disampingku membuyarkan setiap angan yang tengah aku rangkai dalam
khayalku. Bukan salahnya, dia memang tidak tahu.
“Aduh,Rio kebiasaan deh ada apa?”
“Loe tu yang kebiasaan kayaknya tadi mata loe natap gue,
waktu gue samperin mata loe masih lurus aja. Ketahuan! loe mata-matain Tama ya,
cieilaaah.”
“Enak aja loe, emang arah duduk gue kan lurus masa gue
harus ngliat miring bisa pegel ni leher. Gue juga gak tau perasaan tadi gak ada
Tama disitu deh.”
“Alibi loe, maling mana mau ngaku.”
“Ih kurang ajar loe lama-lama, terserah loe deh.”
“Hahaha bercanda, yuk kantin laper gue.”
Semakin dekat,ketika jemarinya menggenggam lengan
tanganku dan aku menatap dia dari belakang tergambar sempurna aku memang
mengaguminya dari sudut manapun. Entah mengapa aku suka berjalan dibelakangnya karena aku tak perlu berpura-pura menata raut
wajahku yang selalu merona setiap kali menatap parasnya. Terkadang aku gugup
dan curiga bagaimana bisa dia tidak tahu.
“Heh Ra?”
“Hah iya”
Lagi-lagi waktu berlalu terlalu cepat,mendahului
lamunanku selalu aku tak bisa menyudahi khayalanku pada waktu yang tepat.
“Loe tu kebiasaan mikirin Tama lagi ni?, pesen apa?”
“Terserah loe, gue ngikut aja.”
“Gue mi rebus dobel pake telur sama jus alpukat, loe sama
kan?”
“Eh,eh kok gitu gak gue kentang goreng sama jus apel
aja.”
“Hahaha, emang loe gak laper ngelamun terus dari tadi.”
Lagi aku menatapnya dari belakang gaya berjalannya yang
santai rambutnya yang hitam cepak terkibas angin serta tangannya yang sesekali
menyibakkan rambut poni lemparnya yang memang sudah lumayan panjang untuk
ukuran cowok.
Entah sudah beberapa kali dia mendapatiku melamun,aku
suka dia tidak terlalu mempermasalahkan selalu saja dia salah mengartikan
penyebab-penyebab aku bermain-main diluar dunia nyata. Aku suka caranya
memperhatikanku berbeda menurutku, mungkin karena kita memang dekat setidaknya
tiga tahun ini sebagai sahabat....
“Taraaaa, pesanan tuan putri datang.”
Beberapa pasang mata disekeliling kami menatap penuh
tanya, tertebak pasti mereka kaget dengan sikap Rio yang terlalu extrem.
“Nah loe habis ngelamun lagi, ni makan biar jasad sama
nyawa loe konek.”
“Bego, gue bukan habis ngelamun, loe alay banget tahu,
gak liat tu mata-mata mantau kita.”
“Eh iya ya?, gue sih cuek.”
Entah kapan masa-masa aku bersamanya akan habis.
Masa-masa aku diperlakukan spesial oleh orang yang sangat spesial dimataku. Aku terlalu takut,
ketika aku harus berjalan sendiri dan tak ada yang mengringi langkahku. Aku terlalu takut untuk keluar
dari zona nyaman ini. Aku terlalu takut membuka diri dengan orang selain dia.
Aku memang pengecut menyimpan sendiri perasaan ini setelah hampir tiga tahun
bersama aku sadar aku bukan hanya menganggap dia sebagai sahabat, lebih-lebih
dari itu.
Malam itu terakhir aku melihatnya dengan jelas. Sesak
sekali dadaku jika harus membayangkan. Mataku selalu berat, air mata selalu
merayap mengikuti insting kepedihanku. Lalu
otakku akan memvisualisasikan dengan jelas setiap bagian-bagian
peristiwa yang memang aku simpan dengan rapi ketika aku harus menghadapi dunia
nyata.
“Ra,besok malem minggu pergi yuk?”
“Hah, kemana?”
“Udah ikut aja.”
“Kemana?,kalau gk jelas gue gak mau”
“Loe tu biasa deh, gue pengen ke alun-alun. Udah lama gak
main sepedaan sama ngopi gara-gara ujian sialan”
“Hahaha okedeh, udah malem gue tidur dulu ya.”
“Yaaaah, iyadeh gue mau nonton bola dulu, mimpiin gue ya
Nyet. Pokoknya loe harus mimpiin gue tiap tidur.”
“Hah maksud loe?”
“Gak kok gak papa,hehe. Oke Have a nice dream my Lovely.”
Begitu secuplik akhir percakapan lewat telvon malam itu. Setelah
sebelumnya,hampir setiap malam-malam ketika dia masih ada selalu tidurku
diantar lewat percakapan telvon yang hanya mengulas hari-hari kami. Kami senang
membicarakan hal-hal yang telah terjadi kemudian menertawakannya.
Aku tak pernah menginginkan pagi itu. Ketika phonecell yang selalu aku genggam aku
tinggalkan sedikit lebih lama. Tiba-tiba ketika aku menatap layarnya beberapa
pesan masuk dan panggilan tak terjawab lebih dari seratus kali. Entah kenapa
perasaanku tiba-tiba kacau,tanganku gemetar,badanku berkeringat dingin. Ku buka
kotak masuk dan ku lihat nama-nama yang berderet, aku tidak langsung
membukanya. Lagu “The best years of our
life” milik Avril tiba-tiba saja berbunyi, ya telvon masuk, meski masih dalam
kebingungan tetapi ku angkat juga.
“Halo Ra?”
“Hah iya Ngga,kenapa?”
“Loe belum tahu?
“Apa?”
“Jadi loe bener belum tahu?”
“Apa”
Bersambung..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar