Oleh
: Tessa Anestiana
Fana adalah
waktu
Yang memberikan
manis dan pahit
Pada
makhluk-makhluk yang terpenjara
di dalamnya
Menyajikan
gula-gula yang menjadikan
sakit gigi
Atau memberikan
bumerang yang berbalik
Barangkali waktu yang fana telah
membawa kakak pertamaku pada sisi pahit takdir kehidupannya. Kakak pertamaku
Riyanaldi Hutama terpaksa menikah pada usia yang cukup muda, dua puluh tiga
tahun. Aku ingat betul ketika itu dia tengah duduk di bangku perkuliahan dan
tepat pada hari dimana dia memberikan kabar yang dengan tegasnya mencoreng
wajah seluruh anggota keluarga Hutama itu ibu harus mengalami koma selama satu
minggu, dan hari-hari keluargaku setelah itu tertutup kabut hitam tebal.
“Ayah
tolong maafkan Riyan dan Suci.”
Kakakku yang biasanya terlihat gagah
di mata semua orang kini terlihat seperti cacing yang terinjak-injak, tak
berdaya. Derai air mata tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang karut-marut.
Semua anggota keluarga diliputi rasa tak sampai hati dan kecewa kini
menghindarkan pandangan dari dirinya.
Kecuali Ayah pandangannya menatap tajam penuh amarah, seolah-olah pada
bola matanya ada api kebakaran yang menyala-nyala hendak menjilat orang yang
kini bersujud memegang pergelangan kakinya.
“Ayah
tolong bicara maafkan Riyan yah. Riyan sudah cukup tersiksa menghadapi semua
ini berdua dengan suci.”
Di
sudut lain Kak Suci hanya duduk dan terus mengusap air mata yang juga mengalir
deras pada pipinya. Isak tangisnya mulai terdengar. Tak sampai hati ibu
menghampiri dan memeluknya lalu membiarkan Kak Suci bersandar pada bahu ibu.
Bola mata ayah juga sempat berpindah fokus ikut menyaksikan dua orang wanita
yang ketika itu mungkin sedang merasakan perasaan yang sangat menggoncangkan
hatinya.
“Kak,
aku malu punya kakak seperti kamu. Apa yang akan orang-orang katakan tentang
keluarga kita terytama pada ayah dan ibu.”
Kak
Rani yang air matanya mulai mengering dengan suara parau memuntahkan seluruh
kekecewaan yang sedari tadi dipendamnya. Kak Rian mendongak menatap ke arah
adik nomor duanya ini dengan tatapan bersalah.
“Maafkan
kakak Ran, tolong jangan lagi salahkan kakak. Kakak sudah tidak tahu lagi harus
bagaimana.”
Tiba-tiba
saja darah muncul dari hidung Kak Rian, adik kecilku Ria berlari dan mengambil
beberapa lembar tisu di meja makan lalu memberikan kepada kakak pertamanya. Tanpa
bicara sepatah katapun dia langsung lari dan duduk kembali di sampingku.
Tangannya yang mungil kembali melingkar pada lenganku. Dia menyandarkan kepalanya
pada lenganku, wajahnya terlihat ketakutan meskipun baru kelas tiga sekolah
dasar, aku yakin hatinya tahu apa yang sedang terjadi di hadapannya.
“Pergi
kamu Riyan, ayah sudah tidak sanggup lagi menahan malu.”
“Ayah,
Riyan mohon, Riyan tidak tahu harus bagaimana. Kasihan bayi yang sedang
dikandung Suci Yah, Riyan memang laki-laki yang lemah.”
“Anak
tak tahu diri kamu, tak tahu berterimakasih ayah membesarkanmu dengan susah
payah. Ayah berikan pendidikan yang terbaik untukmu bahkan kepentingan
adik-adikmu selalu ayah nomor duakan.”
“Lihat
Kak, ayah selalu menomor satukan kamu dan sekarang kamu membalas kami adik-adik
yang selalu disisihkan ini dengan tahi.”
Kak
Rani membanting kursi dan kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari ruang
keluarga, sepanjang berjalan kakinya menghentak-hentak kasar hingga sampai di
depan kamarnya di lantai dua tangannya menarik kasar engsel pintu dan membanting pintu dengan keras. Braaakkk....
Ria memelukku dari samping badannya dingin, air matanya menetes hangat
membasahi lengan dan bajuku.
“Ibuuu,
bangun, ibu bangun.”
Mata
ibu terpejam, tubuhnya rebah ke bahu Kak Suci. Ayah segera berlari membopong
tubuh ibu ke kursi panjang, semua perhatian keluarga kini berbalik kepada ibu.
Entah kenapa aku satu-satunya orang yang dari tadi tidak ikut menangis akhirnya
menangis juga. Aku takut, takut sekali. Satu-satunya anggota keluarga yang
membuat aku merasa tetap ada dalam keluarga ini kini matanya tertutup nafasnya
keluar berat. Aku takut, semua keluarga takut. Aku memegang lengan ibu berusaha
membangunkannya tetapi tidak ada reaksi sama sekali. begitu juga Ria dia
menangis sesenggukan dan selalu memanggil-manggil nama ibu. Tidak lama kemudian
suara sirine ambulan datang membawa tubuh ibu bersama ayah dan Kak Riyan. Aku
ingin ikut tetapi selalu saja aku tidak
berani bicara suraku terlalu takut untuk keluar dari rongga kerongkonganku sama
ketakutannya seperti bayangan yang mulai menghantuiku rasa takut akan
kehilangan orang yang menjadi alasan aku untuk tetap hidup meski aku hanya seorang pengamat kehidupan
dalam keluarga ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar