Ucapan

Selamat Datang di Blog Saya. Silahkan Berjelajah Sesuka Hati Anda :D

Kamis, 30 Oktober 2014

Revolusi Waktu


Oleh : Tessa Anestiana
Fana adalah waktu
Yang memberikan manis dan pahit
Pada makhluk-makhluk yang terpenjara
di dalamnya
Menyajikan gula-gula yang menjadikan
sakit gigi
Atau memberikan bumerang yang berbalik
menyajikankesakitan yang fana
            Barangkali waktu yang fana telah membawa kakak pertamaku pada sisi pahit takdir kehidupannya. Kakak pertamaku Riyanaldi Hutama terpaksa menikah pada usia yang cukup muda, dua puluh tiga tahun. Aku ingat betul ketika itu dia tengah duduk di bangku perkuliahan dan tepat pada hari dimana dia memberikan kabar yang dengan tegasnya mencoreng wajah seluruh anggota keluarga Hutama  itu ibu harus mengalami koma selama satu minggu, dan hari-hari keluargaku setelah itu tertutup kabut hitam tebal.
***
“Ayah tolong maafkan Riyan dan Suci.”
            Kakakku yang biasanya terlihat gagah di mata semua orang kini terlihat seperti cacing yang terinjak-injak, tak berdaya. Derai air mata tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang karut-marut. Semua anggota keluarga diliputi rasa tak sampai hati dan kecewa kini menghindarkan pandangan dari dirinya.  Kecuali Ayah pandangannya menatap tajam penuh amarah, seolah-olah pada bola matanya ada api kebakaran yang menyala-nyala hendak menjilat orang yang kini bersujud memegang pergelangan kakinya.
“Ayah tolong bicara maafkan Riyan yah. Riyan sudah cukup tersiksa menghadapi semua ini berdua dengan suci.”
Di sudut lain Kak Suci hanya duduk dan terus mengusap air mata yang juga mengalir deras pada pipinya. Isak tangisnya mulai terdengar. Tak sampai hati ibu menghampiri dan memeluknya lalu membiarkan Kak Suci bersandar pada bahu ibu. Bola mata ayah juga sempat berpindah fokus ikut menyaksikan dua orang wanita yang ketika itu mungkin sedang merasakan perasaan yang sangat menggoncangkan hatinya.
“Kak, aku malu punya kakak seperti kamu. Apa yang akan orang-orang katakan tentang keluarga kita terytama pada ayah dan ibu.”
Kak Rani yang air matanya mulai mengering dengan suara parau memuntahkan seluruh kekecewaan yang sedari tadi dipendamnya. Kak Rian mendongak menatap ke arah adik nomor duanya ini dengan tatapan bersalah.
“Maafkan kakak Ran, tolong jangan lagi salahkan kakak. Kakak sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.”
Tiba-tiba saja darah muncul dari hidung Kak Rian, adik kecilku Ria berlari dan mengambil beberapa lembar tisu di meja makan lalu memberikan kepada kakak pertamanya. Tanpa bicara sepatah katapun dia langsung lari dan duduk kembali di sampingku. Tangannya yang mungil kembali melingkar pada lenganku. Dia menyandarkan kepalanya pada lenganku, wajahnya terlihat ketakutan meskipun baru kelas tiga sekolah dasar, aku yakin hatinya tahu apa yang sedang terjadi di hadapannya.
“Pergi kamu Riyan, ayah sudah tidak sanggup lagi menahan malu.”
“Ayah, Riyan mohon, Riyan tidak tahu harus bagaimana. Kasihan bayi yang sedang dikandung Suci Yah, Riyan memang laki-laki yang lemah.”
“Anak tak tahu diri kamu, tak tahu berterimakasih ayah membesarkanmu dengan susah payah. Ayah berikan pendidikan yang terbaik untukmu bahkan kepentingan adik-adikmu selalu ayah nomor duakan.”
“Lihat Kak, ayah selalu menomor satukan kamu dan sekarang kamu membalas kami adik-adik yang selalu disisihkan ini dengan tahi.”
Kak Rani membanting kursi dan kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari ruang keluarga, sepanjang berjalan kakinya menghentak-hentak kasar hingga sampai di depan kamarnya di lantai dua tangannya menarik kasar engsel pintu dan  membanting pintu dengan keras. Braaakkk.... Ria memelukku dari samping badannya dingin, air matanya menetes hangat membasahi lengan dan bajuku.
“Ibuuu, bangun, ibu bangun.”
Mata ibu terpejam, tubuhnya rebah ke bahu Kak Suci. Ayah segera berlari membopong tubuh ibu ke kursi panjang, semua perhatian keluarga kini berbalik kepada ibu. Entah kenapa aku satu-satunya orang yang dari tadi tidak ikut menangis akhirnya menangis juga. Aku takut, takut sekali. Satu-satunya anggota keluarga yang membuat aku merasa tetap ada dalam keluarga ini kini matanya tertutup nafasnya keluar berat. Aku takut, semua keluarga takut. Aku memegang lengan ibu berusaha membangunkannya tetapi tidak ada reaksi sama sekali. begitu juga Ria dia menangis sesenggukan dan selalu memanggil-manggil nama ibu. Tidak lama kemudian suara sirine ambulan datang membawa tubuh ibu bersama ayah dan Kak Riyan. Aku ingin ikut  tetapi selalu saja aku tidak berani bicara suraku terlalu takut untuk keluar dari rongga kerongkonganku sama ketakutannya seperti bayangan yang mulai menghantuiku rasa takut akan kehilangan orang yang menjadi alasan aku untuk tetap hidup  meski aku hanya seorang pengamat kehidupan dalam keluarga ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ucapan

Terimakasih Sudah Berkunjung.Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Dan Follownya:)