MATA ELANG
Setiap kali aku menatapnya aku tak pernah berfikir ingin
memilikinya, bagiku sudah cukup bahagia mengagumi dalam diam. Biarkan mataku
tetap berbinar dan bibirku selalu menarik kedua sudutnya ketika aku mengamati dan memikirkan setiap gerak
tubuhnya,raut wajahnya, serta suara candanya. Dekat, lebih dekat dari lidah dan
mulutku, lebih dekat dari alis dan mataku, lebih dekat dari angin yang selalu
menerpaku.
“Araaaaaa.”
Suara Rio menembus headset yang terpasang ditelingaku.
Sering sesosok tubuh yang aku tatap dari jauh, tiba-tiba
berada disampingku membuyarkan setiap angan yang tengah aku rangkai dalam
khayalku. Bukan salahnya, dia memang tidak tahu.
“Aduh,Rio kebiasaan deh ada apa?”
“Loe tu yang kebiasaan kayaknya tadi mata loe natap gue,
waktu gue samperin mata loe masih lurus aja. Ketahuan! loe mata-matain Tama ya,
cieilaaah.”
“Enak aja loe, emang arah duduk gue kan lurus masa gue
harus ngliat miring bisa pegel ni leher. Gue juga gak tau perasaan tadi gak ada
Tama disitu deh.”
“Alibi loe, maling mana mau ngaku.”
“Ih kurang ajar loe lama-lama, terserah loe deh.”
“Hahaha bercanda, yuk kantin laper gue.”
Semakin dekat,ketika jemarinya menggenggam lengan
tanganku dan aku menatap dia dari belakang tergambar sempurna aku memang
mengaguminya dari sudut manapun. Entah mengapa aku suka berjalan dibelakangnya karena aku tak perlu berpura-pura menata raut
wajahku yang selalu merona setiap kali menatap parasnya. Terkadang aku gugup
dan curiga bagaimana bisa dia tidak tahu.